Jadi.. kapan kita lebaran?

Di Indonesia, hampir setiap tahun, selalu terjadi perbedaan dalam penentuan awal ramadhan dan (juga) penetapan idul fitri. sebagian masyarakat, dalam hal ini di wakili oleh nahdlatul ulama, berpegang pada metode ru’yatul hilal. kebetulan, pemerintah, dalam hal ini kementrian agama, menterinya selalu berasal dari organisasi massa terbesar di indonesia tersebut. sehingga muncullah sidang itsbat yang dikomandoi oleh kementrian agama dan mengundang seluruh ormas di indonesia, untuk duduk bersama memutuskan 1 ramadhan dan 1 syawal berdasarkan hasil pengamatan di berbagai titik. sedangkan sebagian masyarakat indonesia yang lain, dalam hal ini di wakili oleh muhammadiyah, tetap dengan keyakinannya menggunakan metode hisab dalam hal penentuan 1 ramadhan ataupun 1 syawal.

tapi di indonesia tidak hanya menjadi dikotomi dua organisasi massa terbesar itu saja. ada thariqah naqsabandiyah, misalnya. dari tahun ke tahun, sekte tersebut selalu beberapa hari lebih awal dari kedua organisasi diatas. dan masih banyak lagi aliran-aliran lain yang memiliki keyakinan berbeda dalam penentuan bulan puasa dan lebaran.

kaum dhuafa.

Setiap tahun, kaum miskin papa itu harus rela antre berjam-jam dan kepanasan, hanya untuk mendapat bagian dari sedekah ataupun zakat yang dikeluarkan kaum borjuis. ada yang sampai pingsan hanya untuk mendapat selembar 20 ribuan. perjuangan ultra keras itu, masih bisa menjadi sebuah kelegaan, manakala mendapat bagian. sebab tak jarang, mereka yang sudah mengantri sejak sehari sebelumnya, justru tak mendapatkan rezeki yang diharapkan.

itu baru persoalan thr, belum urusan tradisi mudik. saat lebaran kurang 1 minggu. saat sekolah dan kantor mulai libur, secara otomatis gelombang pemudik meningkat tajam. semua berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, membawa ‘harta’ yang telah setahun mereka kumpulkan. sirkulasi keuangan pun seolah berpindah tangan. jika pada hari biasa, perputaran uang secara nasional, berpusat di kota-kota besar, maka pada saat lebaran, sirkulasi itu berpindah ke kota-kota kecil. tak heran jika di kota-kota yang biasanya sepi, mendadak ada pasar kaget ataupun warung-warung makan khas kota tersebut yang menyediakan kursi tambahan untuk menghadapi serbuan pelanggan dadakan.

tapi yang jadi perhatian beberapa hari terakhir ini adalah persoalan pantura. hampir setiap tahun, dalam berita, jalan di pantura selalu dalam kondisi diperbaiki. mengapa hal itu bisa terjadi? apakah tahun lalu perbaikannya tidak selesai? atau memang perbaikan yang diadakan pada tahun sebelumnya dirancang untuk kembali rusak pada tahun mendatang? entahlah. mungkin itu ada kaitannya dengan persoalan tunjangan hari raya yang telah saya kemukakan diatas.
— — —
berlalu dari hingar bingar pembahasan hari raya berikut instrumen yang mengikutinya, ada sisi-sisi dari kehidupan yang kerap luput dari sorotan mata kita sekalian. ada mereka yang setiap tahun bersama-sama dengan kita berpuasa, merasakan lapar dan dahaga, akan tetapi mereka tak sempat, atau bahkan tak sanggup menikamati lebaran. adalah mereka yang tinggal di gang-gang sempit dan gelap ibukota. juga mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan. mereka adalah warga negara ‘kelas dua’.

bisa jadi, bulan puasa, bagi mereka bukan hanya sebulan lamanya. melainkan sepanjang tahun. bahkan tanpa sepengetahuan kita, saat kita berbuka puasa, mereka masih menahan lapar dan dahaga, karena memang tak ada yang bisa mereka manfaatkan untuk melepaskan keduanya. beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah broadcast dari teman di blackberry messanger. isinya tentang duka seorang pemulung yang harus mengangkut mayat anaknya yang meninggal dunia, karena tidak mampu menyewa ambulans. rasanya hati ini seperti disayat silet, lalu dilemparkan ke jalan raya, dilindas mobil lalu mengering dan menjadi debu diantara roda-roda dunia.

saat kita, yang mungkin tak sepedih penderitaan mereka, meski merasa pedih dalam ukuran yang kita cipta sendiri, bertanya-tanya bagaimana akan menghabiskan masa liburan hari raya bersama keluarga. juga bertanya, bagaimana akan kita adu kesombongan-kesombongan saat berada di kampung halaman. mereka-mereka yang miskin papa, warga negara kelas dua itu, masih berkutat pada pertanyaan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya saat menjelang akhir ramadhan, sambil menahan perut yang masih kelaparan dan kehausan, juga jutaan kerinduan pada kampung halaman: “jadi… kapan kita lebaran?”

dan hari ini (12/7), bappeda kota probolinggo, mengadakan halal bi halal. bermaafan melebur segala kesalahan. sederhana, tapi penuh makna. semoga di tahun-tahun mendatang, tanpa mengenal perbedaan, kita mampu merajut hikmah dalam berlebaran.

selamat idul fitri, 1 syawal 1434 hijriah (obt)

×

Apakah anda mempunyai pertanyaan?

Klik salah satu perwakilan kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp atau mengirim email kepada kami bappedalitbang@probolinggokota.go.id

× LAYANAN ONLINE